Anda harus terbuka pada guru tentang harapan Anda versus realita yang Anda temukan di sekolah. Jika Anda meragukan upaya sekolah dalam mewujudkan harapan Anda, cari solusinya bersama. Dan ceritakan pola asuh anak di rumah agar sekolah membantu menyelaraskan pola asuh di rumah dengan di sekolah.
Kesamaan pola asuh memaksimalkan pendidikan anak. Komunikasikan selalu perkembangan anak dengan guru. Minta laporan perkembangan anak paling tidak 1 kali sebulan.
Harapan, memilih sekolah bilingual agar anak jago berbahasa Inggris.
Realita, berbahasa Ingggris di sekolah harus dilanjutkan di rumah. Konsistensi penting untuk mencegah kebingungan anak dan spreech delay (terlambat berbicara). Penggunaan bahasa pun jangan campur aduk "colud you get Momy teh manis from the dapur, please?"
Harapan, memasukkan anak ke sekolah berbasis agama agar potensi religinya baik.
Realitaa, sekali lagi, konsistensi. Pendidikan agama di sekolah harus terlihat rajin beribadah dan bergaya hidup sesuai ajaran agama. Jika tidak, anak bingung dan terjadi bentrokan nilai-nilai.
Harapan, mencari sekolah dengan rasio guru-murid sedikit. Misal 1:4.
Realita, rasio saja tidak cukup, cermati, jangan-jangan anak dibimbing asisten guru atau malah guru magang! Selain memnuhi rasio, guru harus prifesional-memiliki diploma atau gelar sarjana dini (early child-hood), mendapat training dan memiliki pengalaman memadai.
Harapan, memilih sekolah kurikulum barat agar pendidikan anak semaju di sana.
Realita, kurikulum barat (AS, Australia, Inggris) menerapkan activity based learning atau belajar lewat aktivitas). Anak menemukan sendiri fakta-fakta lewat proses belajar-bukan hanya "dicekoki" guru. Akhirnya terbentuklah karakter anak yang berinisiatif tinggi, kreatif, proaktif fan mandiri-karakter yang cocok untuk iklim perguruan tinggi dan dunia kerja.
Harapan, memilih sekolah yang akan mencetak anak menjadi unggul.
Realita, waspadai kurikulum sekolah dengan janji-janji "mencetak" anak sukses secara instant. Tahun-tahun pertama bersekolah memang penting, namun program sekolah harus diciptakan mengikuti minat, kebutuhan dan kecintaan alamiah anak untuk belajar di usia kanak-kanaknya, bukannya memaksan anak jadi cerdas.